Rabu, 04 November 2009

Perempuan Tetap Rentan Depresi

JAKARTA, MP - Pernah nggak mengalami mual-mual saat menjelang wawancara kerja, padahal Anda sebenarnya bukan penderita masalah pencernaan? Atau mungkin ada di antara Anda yang kerap merasakan jantung berdebar tak karuan setiap kali melewati persimpangan tertentu di Jakarta ini? Ah, sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami kecemasan dan stres seperti itu kan?

Rasa cemas atau ansietas kerap dianggap wajar oleh mereka yang tinggal di kota besar. Begitu pula dengan rasa tertekan atau depresi. Survei yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Dinas Kesehatan DKI tahun 2006 silam menunjukkan, angka kecemasan di kalangan warga Jakarta sangat tinggi, yakni 39,8 persen, dan angka kejadian depresi mencapai 28,4 persen.

Dr Suryo Dharmono dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, kompleksitas kehidupan kota besar seperti itu dapat memicu terjadinya gangguan psikosomatik, sejenis gangguan kesehatan yang berhubungan dengan masalah psikologis, dan biasanya ditandai dengan gejala depresi atau kecemasan.

"Dia bisa terjadi pada siapa saja, namun pada perempuan angka kejadiannya dua kali lebih banyak," ujar Suryo, saat berbicara dalam diskusi memperingati Hari Kesehatan Jiwa 2009 yang jatuh pada tanggal 10 Oktober.

Kenapa kaum perempuan rentan terhadap depresi dan kecemasan? Menurut Suryo, hal itu terkait erat dengan faktor biologis yang khas pada perempuan, yaitu perubahan hormonal yang terjadi sepanjang hidupnya. Selain itu, faktor lingkungan sosio-kultural juga berperan penting menciptakan tekanan tertentu pada kaum perempuan, terutama terkait tuntutan terhadap peran dan fungsinya dalam masyarakat.

"Faktor sosial dan budaya ini besar pengaruhnya terhadap munculnya depresi dan kecemasan pada perempuan. Karena perempuan biar pun memiliki karier tetap dituntut menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Mereka juga biasanya dalam posisi sub-ordinasi di hadapan pasangannya dan rentan terhadap kekerasan," ujar Koordinator Klinik Pemulihan Stres Pasca-Trauma RSCM itu.

Gangguan psikosomatis semacam itu memang dampaknya tidaklah sebesar penyebaran penyakit menular dan penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, atau jantung. Akan tetapi, gangguan depresi dan kecemasan dapat menyebabkan penurunan produktivitas seseorang dan mengakibatkan penderita kehilangan pekerjaan.

Penelitian menunjukkan depresi memengaruhi pula peningkatan mortalitas (angka kematian), juga morbiditas (keparahan) pada pasien penyakit stroke, diabetes melitus, dan penyakit kardiovaskuler. Pada pasien depresi tingkat sedang dan berat, angka kematian akibat bunuh diri mencapai 90 persen.

"Masalah ini kelihatannya sepele, tapi sebenarnya sangat krusial. Karena orang yang nggak sehat secara mental, sulit untuk dikatakan sehat secara keseluruhan," ujar Suryo. (red/*wk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails